TASSAWUF
Tassawuf
didasarkan pada 8 (delapan) sifat yang dicontohkan oleh Para Rasul :
- Kedermawanan Nabi Ibrahim, yang mengorbankan putranya.
- Kepasrahan Nabi Ismail, yeng menyerahkan diri pada perintah Allah dan menyerahkan hidupnya.
- Kesabaran Nabi Ayub, yang dengan sabar menahan penderitaan penyakit gatal dan kecemburuan Yang Maha Pemurah.
- Perlambangan Nabi Zakaria, yang menerima sabda Tuhan, “ Kau tak akan berbicara dengan manusia selama 3 (tiga) hari, kecuali dengan mempergunakan lambang-lambang”, dan juga “ tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut”.
- Keasingan Nabi Yunus yang merupakan orang asing di negerinya sendiri dan terasing di tengah-tengah kaumnya sendiri.
- Sifat Penziarah Nabi Isa, yang begitu melepaskan keduniawian sehingga hanya menyimpan sebuah mangkuk dan sebuah sisir. Mangkuk itu pun di buangnya ketika ia melihat seseorang minum dari telapak tangannya, dan juga sisirnya ketika dilihatnya seseorang menyisir rambut dengan jari-jarinya.
- Pemakaian jubah wool oleh Musa.
- Kemelaratan/kemiskinan Muhammad, yang di anugerahi kunci segala harta yang ada di muka bumi oleh Allah, sabda-Nya : “Jangan menyusahkan diri sendiri, tapi nikmati setiap kemewahan dengan harga ini “, namun jawabnya Muhammad, “ Ya Allah, hamba tidak menghendakinya, biarkan hamba sehari kenyang dan sehari lapar “.
Beberapa
diantara orang-orang sezaman Junayd menekankan segi tapabrata
tasawuf, yakni suatu pemutusan hubungan sepenuhnya dengan apa yang
dikatakan sebagai “ dunia” dan egotisme, “ Tasawuf berarti tak
memiliki apa pun dan tak dimiliki apa pun.”
Segi
sosial dan praktis dalam tasawuf kita ketahui dari batas-batasan
seperti yang diberikan oleh Junayd dan Nuri yang menyatakan bahwa “
Tasawuf tidak tersusun dari praktek dan ilmu, tetapi merupakan
akhlak”, dan “ siapa pun yang melebihimu dalam nilai akhlak,
berate melebihimu dalam Tasawuf”. Maksudnya ialah bertindak sesuai
dengan perintah dan hukum Allah, yang dipahami dalam pengertian
rohaninya yang terdalam tanpa mengingkari bentuk-bentuk luarnya. Cara
hidup semacam ini hanya mungkin dilaksanakan lewat pengabdian penuh
kasih : “ Tasawuf adalah menjadi murninya jiwa dari pengotoran oleh
perselisihan”- suatu kalimat yang dijelaskan oleh Hujwiri sebagai
berikut : “Cinta adalah kesepahaman, dan kekasih hanya memiliki
satu tugas di dunia, yakni mentapi perintah yang dikasihinya, dan
apabila yang di hasratkan satu saja, bagaimana mungkin perselisihan
timbul ?
Para
sufi telah berbicara mengenai 3 (tiga) segi makna Tasawuf : Menurut
Syariat, Tarikat, dan Hakikat. Hal itu merupakan penyucian pada
tingkat-tingkat yang berbeda, pertama-tama dari sifat-sifat rendah
dan kekejian jiwa, kemudian dari perbudakan sifat-sifat manusia, dan
akhirnya penyucian dan pemilihan pada tingkat sifat-sifat.
Kaum
mistik Islam menikmati kata dengan akar Safa ‘ kemurnian’,
setiap kali mereka membicarakan Tasawuf dan sifat-sifat ideal sufi :
‘ Ia yang dimurnikan cinta menjadi murni (safi ), dan ia
yang dimurnikan Kekasih menjadi sufi ‘, yakni seorang yang sama
sekali terserap dalam Maha Kekasih dan sama sekali tidak memikirkan
apa pun kecuali Dia – hanya dengan begitu ia mencapai taraf sufi
sejati. Tidaklah mengherankan bahwa para sufi telah berusaha
mengangkat ‘ Adam’ sebagai sufi pertama; sebab selama 40
(empat puluh) hari ia berada “dalam khalwat” (bagaikan pendatang
baru di awal Tarikat) sebelum Allah menganugerahkan jiwa; kemudian
Allah memasang lampu nalar di hatinya dan cahaya kearifan di
lidahnya, dan ia pun muncul bagaikan ahli mistik yang diterangi, dari
tempat pengasingannya waktu ia berada dalam adonan Tuhan. Setelah
kejatuhannya ia menunjukan rasa penyesalannya di India selama 300
tahun sampai Tuhan ‘ memilih-nya’ sehingga ia menjadi murni
(safi ) dan demikian menjadi seorang sufi sejati. Seorang
sufi mendefinisikan tentang tasawuf sebagai berikut : “ Tasawuf
itu Apa ? Katanya : Menemukan kebahagiaan di hati apabila
kesusahan tiba”.
Dalam
masa-masa pembentukannya, tasawuf terutama merupakan bagian-bagian
Islam, suatu pengalaman pribadi tentang misteri utama Islam, yakni
Tauhid, “ menyatakan bahwa Allah itu Esa.” Para Sufi selalu
berada dalam lingkungan Islam, dan sikap mistik mereka tidak terbatas
pada keanggotaannya pada mazhab hukum atau teologis yang mana pun.
Mereka bisa mencapai tujuannya dari titik mana saja, pada dasarnya
mereka tidak tertarik pada perbedaan-perbedaan teologis yang sangat
kecil. Hujwiri menyimpulkan sikap awal sufi terhadap ilmu dan
teknologi dalam pengamatannya yang tajam : “ Pengetahuan itu luas,
tetap hidup singkat: oleh karenannya tidaklah wajib mempelajari semua
ilmu….. cukup yang ada hubungannya dengan hukum agama.” Itu
berarti : astronomi secukupnya agar bisa menentukan kiblat,
matematika secukupnya agar bisa menghitung jumlah zakat yang harus
diserahkan – itulah yang harus diketahui seorang sufi, seperti juga
halnya setiap Muslim yang baik. Bukankah Allah telah mengutuk ilmu
yang tak ada gunanya (surah 2 :96), dan bukankah Nabi bersabda, “
Aku berlindung pada-Mu dari pengetahuan (ilmu) yang tak berguna?”
Ilmu yang wajib di tuntut oleh setiap Muslim, adalah pengetahuan
tentang kewajiban praktis seorang Muslim: “ Jangan membaca ilmu
kecuali untuk kehidupan yang sesungguhnya… Ilmu Agama berupa fiqih,
tafsir, dan hadist – siapa pun yang membaca yang lain akan menjadi
menjijikan.” Kearifan sejati, yakni kearifan Yang Tunggal, tidak
bisa dicapai lewat buku-buku (kitab); banyak kisah menceritakan
bagaimana seorang sufi yang telah mencapai, atau menganggap dirinya
telah mencapai, tujuannya – membuang buku-bukunya (kitab), katanya
: “ Buku, kau memang pandu utama, tetapi konyol sekali kalau masih
merepotkan diri dengan pandu kalau tujuan sudah tercapai.
“Memecahkan botol tinta dan menyobek buku” dianggap, oleh beberapa
ahli sufi, sebagai langkah pertama dalam tasawuf. Orang suci yang
agung “ Umar Suhrawardi, yang mempelajari teologis skolastik pada
masa mudanya, diberkahi oleh seorang suci yang meletakan tangan di
dadanya dan membuatnya melupakan segala yang telah dipelajarinya, “
tetapi ia mengisi dada saya dengan ILMU LADUNI. Yakni
pengetahuan yang diturunkan langsung dari Allah. Syekh Abdul Qodir
Jailani mempertunjukan mukjizat dengan tiba-tiba menghanyutkan teks
sebuah buku filsafat yang dianggapnya berbahaya bagi
pengikut-pengikutnya; sufi-sufi lain dalam mimpinya dituntut untuk
membuang koleksi bukunya yang berharga ke sungai.
Kegemaran
akan pengetahuan langsung yang berbeda dari ilmu pengetahuan menurut
hukum pada masa-masa selanjutnya di nyatakan oleh banyak penyair dan
ahli sufi yang mencemoohkan pelopor sekolah hukum terkenal, terutama
sekali Imam Abu Hanifah (767 M) dan Imam Syafi’I (820 M). “ Abu
Hanifa tidak mengajarkan cinta, ( Syafi’I tak mengenal hadist ).
Sana’I
( 1131 m) sering membedakan Sufi dan Kufi, yakni ahli
hukum terkenal Abu Hanifa yang berasal dari Kufa; dan masih dalam
puisi mistik Sindhi abad ke-18, sufi disebut La-kufi, nir-kufi,
yakni tidak terikat pada suatu tatacara agama tertentu. Para Sufi
menyatakan bahwa seluruh kearifan tercantum dalam huruf Alif,
huruf pertama dalam abjad dan lambing Allah. Bukankah banyak sarjana
yang bersandar pada buku “ seperti keledai yang membawa
kitab-kitab? “ Bukan kah Nuh hidup sampai 900 (sembilan ratus)
tahun dengan hanya Dzikir (mengingat-ngingat) Allah ?
TAUHID
Apakah
Tauhid itu ? Tauhid atau ‘ Pernyataan bahwa Allah itu satu’
merupakan tujuan kehidupan ke-agamaan bagi orang Islam pada umumnya
dan bagi orang sufi khususnya. Hujwiri menyatakan bahwa ada 3 (tiga)
jenis Tauhid :
- Tauhid Tuhan tentang Tuhan, Yaitu pengetahuan-Nya tentang kesatuan-Nya.
- Tauhid Tuhan tentang makhluk-Nya, Yaitu ketetapan-Nya bahwa manusia menyatakan Tuhan sebagai Satu dan menciptakan penyatuan dalam hatinya.
- Tauhid manusia tentang Tuhan, Yaitu pengetahuan mereka tentang Kesatuan Tuhan.
Bagi
tasawuf ordtodoks, Tauhid terutama berarti pengakuan bahwa tak
ada pelaku selain Allah dan bahwa segala sesuatu dan semua orang
tergantung pada-Nya. Gagasan ini sudah membawa kepada pengakuan bahwa
hanya Dia sajalah mempunyai wujud sebenarnya dan hanya Dia saja yang
berhak mengatakan “Aku” – bahwasanya Tuhan adalah satu-satunya
subjek yang benar.
Didalam
Kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Gazzali menggambarkan secara sangat
jelas, cara untuk mencapai tauhid:
Barang
siapa memandang dunia karena itu karya Tuhan, dan mengenalnya karena
itu karya Tuhan, dan mencintainya karena itu karya Tuhan, tidak
memandang kepada apa pun selain Tuhan, dan tidak mengetahui apa pun
selain Tuhan dan tidak mencinta apapun selain Tuhan, ia adalah
penyatu ( Muwahhid) sejati, yang tidak memandang apa pun
selain Tuhan, bahkan tidak memandang kepada dirinya untuk dirinya
sendiri, melainkan karena ia hamba Tuhan – orang seperti itu
dinamakan sirna dalam penyatuan dan disebut sebagai sirna dari
dirinya sendiri.
Ini
merupakan penjabaran daripada apa yang diucapkan oleh seorang sufi
sebelum itu; Hujwiri mengutipnya sebagai berikut : “ Penyatuan
adalah bahwa tak ada yang melintas di pikiranmu kecuali Tuhan”.
Al-Junaed juga mengembalikan gagasan Tauhid kepada hari perjanjian
Purba :
Tauhid
artinya seseorang menjadi boneka di tangan Tuhan, boneka yang
menuruti perintah-perintah Tuhan sesuai dengan ketentuan-Nya dalam
keMahakuasaan-Nya, dan bahwa ia harus tenggelam ke dalam lautan
tauhid-Nya, sirna dan mati, baik dalam hal panggilan kemanusiaan
maupun dalam hal jawabnya kepada mereka. Ia harus terpana oleh
realitas ilahi dalam keakraban sejati, terlena dari pikiran dan
perbuatan, karena Tuhan melaksanakan padanya apa yang Ia kehendaki
daripadanya, Yaitu bahwa keadaannya yang terakhir menjadi keadaannya
yang mula-mula, dan bahwa ia menjadi seperti ketika ia belum
berwujud.
Jadi
Tauhid sejati berarti melupakan tauhid. Dalam keadaan tauhid orang
yang awas menjadi buta dan orang yang bernalar menjadi bingung. “
Dan pada segala sesuatu ada saksi untuk-Nya, yang membuktikan
bahwa Ia. ( Esa ).
Kehadiran
Tuhan yang meresapi segala sesuatu disaksikan oleh Muwahhid,
dan oleh orang sufi dinyatakan dalam ucapan, “ Aku tidak melihat
sesuatu tanpa melihat Tuhan sebelumnya dan sesudahnya dan bersamanya
ada di dalamnya.” Menurut Muhammad ibn Wasi’ berkata, “
Aku tak pernah melihat sesuatu tanpa melihat Tuhan di dalamnya.”
Dan menurut Shibli berseru : “ Aku tak pernah melihat sesuatu
kecuali Tuhan.” Dalam keadaan bahagia (Jadhbi) hanya melihat
Tuhan, lain tidak. Dari pernyataan Shibli mudahlah orang berlanjut
kepada perasaan yang di ungkapkan dalam bayak syair Parsi dan Turki :
“ Dalam mesjid dan warung, dalam kafir dan muslim aku hanya melihat
Tuhan!” Para sufi mendukung ucapan semacam itu dengan adanya
firman Tuhan : “ Ke mana pun engkau berpaling, disitu wajah Tuhan.”
(Q.S. 2 : 109) kalimat ini merupakan salah satu dasar bagi
teori-teori sufi, kemudian dan memberikan kepada para sufi suatu
bukti bahwa Tuhan, Yaitu satu-satunya pelaku, adalah satu-satunya
wujud sejati, dan bagi ahli sufi yang mendapat pencerahan, Ia
terlihat dalam setiap bentuk dan di balik setiap penyamaran.
BENTUK-BENTUK
IBADAH / SHALAT
Satu
di antara kelima rukun Islam ialah shalat ( dalam bahasa Parsi dan
Turki Namaz ) yang dilakukan 5 (lima) kali sehari pada waktu
yang ditentukan di antara sesaat sebelum fajar dan kegelapan malam.
Sesuai dengan suatu hadist pada zaman awal Islam, para pertapa serta
ahli sufi menganggap shalat sebagai semacam kenaikan ke surga,
sebagai mikraj yang membawa mereka dalam kehadiran Tuhan secara
langsung. Ada hadist yang mengatakan, “ Shalat itu kunci surga”;
dan juga Hadist Nabi : “ ASHALATU MI’RAJUL MU’MININ “.
Artinya : Shalat adalah Mi’rajnya orang-orang beriman. Didalam kata
Shalat ada tindakan wasola, artinya : tiba, bersatu. Dengan
demikian shalat menjadi waktu untuk berhubungan, suatu saat kedekatan
kepada Allah. Bukankah di dalam Qur’an dinyatakan berkali-kali
bahwa seluruh penciptaan dijadikan dengan tujuan memuja Tuhan? Maka
mereka yang mengingkan kedekatan khusus kepada Tuhan serta mau
membuktikan ketaatan dan cintanya, pastilah mereka yang mementingkan
shalat. Mungkin mereka bahkan mampu menyuruh malaikat maut menunggu
sampai mereka selesai shalat.
Saat
sang sufi mengucapkan niat dengan menyebut jumlah rokaat yang tepat,
berarti juga pernyataannya kemauannya untuk meninggalkan seluruh alam
ciptaan. Selama ber-shalat ia merasa seakan-akan menunggu di hadapan
Tuhan pada Hari Kiamat. Dengan tepat Muhasibi menggambarkan perasaan
takut dan kagum yang memukau :
Yang
menguasai hati ahli Ma’rifat sewaktu ia bershalat ialah kesadaran
akan kerahasiaan yang meliputi hadirat Tuhan tempat ia menghadap, dan
kesadaran akan kekuasaan Tuhan yang dia cari, dan kesadaran akan
cinta Tuhan yang berkenan mengijinkan pergaulan yang akrab
dengan-Nya. Sang sufi sadar akan hal itu sampai ia selesai shalat,
dan ia beranjak dari tempatnya dengan wajah yang berubah sehingga
teman-temanya tidak dapat mengenalnya, karena rasa takut dan kagum
yang dirasakannya terhadap keagungan Tuhan. Bila seseorang datang
menghadap ke hadirat seorang raja atau seseorang yang dia rindukan
dan dia takuti, sikapnya berubah daripada ketika ia datang, dan ia
pergi dengan wajah yang berubah pula. Betapa pula bila ia menghadapi
Tuhan seru sekalian alam yang tiada awal dan tiada akhir, yang tidak
ada samanya? (Kitab Ar-ri’aya li huquq Allah).
Bila
engkau memulai shalat, hendaknya engkau menghadap ke hadirat-Nya
seakan-akan itu Hari Kebangkitan. Saat itu engkau berdiri di
hadapan-Nya tanpa perantara, sebab Ia menyambutmu dan engkau
berbicara akrab dengan-Nya. Dan engkau tahu Siapa yang kau hadapi,
sebab Ia adalah Raja segala raja. Kalau engkau telah mengangkat ke
dua belah tangan dan mengucapkan “ Allahu Akbar “, jangan biarkan
sesuatu yang lain tinggal di hatimu kecuali memuliakan-Nya; dan pada
saat memuliakan-Nya, jangan biarkan sesuatu yang lain ada dalam
jiwamu kecuali kemuliaan Allah yang Mahatinggi, sehingga engkau
melupakan dunia dan akhirat pada saat memuliakan Dia. Jika seseorang
berukuk dalam shalat hendaknya ia tegak kembali, kemudian sujud,
sehingga setiap sendi tubuhnya menghadapi singgasana Tuhan, dan ini
berate bahwa ia memuliakan Allah yang Mahatinggi, sehingga dalam
hatinya tak ada yang lebih besar daripada Allah yang Maha Agung dan
Ia menganggap dan merasa dirinya tidak lebih ketimbang sebutir debu.
(Kitab Ar-ri’aya li huquq Allah)
Dalam
keadaan yang penuh rasa kagum dan takut ini, setiap anggota tubuh
ikut serta dalam pemujaan sehingga jiwa dan raga serentak tertuju
kepada Tuhan.
Orang
sufi memberikan makna yang berbeda-beda kepada shalat. Mereka
mengatakan bahwa shalat dalam artian Syariat adalah pengabdian,
menurut Tarikat adalah ke-Akraban dan menurut Hakikat adalah
penyatuan dengan Tuhan.
Bila
ditafsirkan secara esoteris mungkin juga gerakan shalat diartikan
mewakili gerak pemujaan yang terdapat pada seluruh penciptaan : SUJUD
mengingatkan pada hal tumbuhan, RUKUK pada hal hewan dan BERDIRI
TEGAK adalah milik husus manusia. Setiap mahluk menyembah Tuhan
dengan caranya sendiri. Para Malaikat menyembah Tuhan dalam satu
sikap selama berabad-abad, sesuai dengan tingkatannya; hanya manusia
yang dalam beberapa gerakan shalat dapat mewakili keseluruhan
pemujaan yang merupakan kewajiban segenap mahluk. Di dalam
sikap-sikap shalat dihubungkan dengan nama ADAM, yang mewakili
segenap umat manusia :
ADAM
ALIF
( ﺍ
) DAL ( ﺪ
) MIM ( ﻢ
)
ika engkau berdiri, terbentuklah ALIF ( ﺍ
)
Bila
berukuk, lihatlah DAL ( ﺪ
)
tercipta;
Kalau
engkau bersujud kelihatan MI M ( ﻢ
)
Maksudnya,
agar bisa menghayati ADAM.
Orang
lain menafsirkan nama MUHAMMAD dalam huruf Arab sebagai bentuk mnusia
yang bersujud dihadapan Tuhan. Dan pada akhir abad ke-17, seorang
sufi mengumpamakan manusia seperti gerakan shalat :
Remaja
berdiri tegak, Usia lanjut berukuk, dan kesirnaan ( kematian)
bersujud. Dalam keberadaan dan ketiadaan tak dapat diperbuat selain
shalat.
Shalat
atau “ namaz “ terdiri atas 4 (empat) huruf
n =
Nusrat, Artinya Kejayaan
m =
Milkat, Artinya Kendali
a =
ulfat, Artinya Keakraban
z =
ziyadat, Artinya Peningkatan
“Sikap
tubuh dalam sujud merupakan keakraban Jiwa”. Sebab Allah sendiri
berfirman : “ Sujudlah dan dekatkanlah dirimu pada Tuhan”. (QS.
96 : 19).
Ucapan-ucapan
dalam shalat juga di artikan secara esoteris khususnya Al-Fatihah
yang dalam Islam diucapkan :
- Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam
- Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
- Yang menguasai hari pembalasan
- Hanya engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan
- Tunjukilah kami jalan yang lurus,
- Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat pada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Dalam
suatu hadist qudsi Allah menyatakan bahwa Ia telah membagi surah ini
antara Dia sendiri dan hamba-Nya. Berdasarkan kalimat itu, dalam
tujuh larik fatihah, Ibn Arabi telah menemukan ungkapan sempurna
tentang hubungan manusia dengan Tuhan : Ketiga baris pertama
merupakan tindak orang yang beriman terhadap Tuhan, baris keempat
merupakan tindak timbal balik dan tiga baris terakhir menggambarkan
tindak Ilahi atas manusia.
Macam-macam
penafsiran yang diberikan oleh sufi terhadap shalat dengan segala
rinciannya dapat mengisi suatu buku tebal. Penafsiran itu berkisar
dari perbuatan ketaatan yang sederhana, sampai pada perasaan bahwa
Tuhan sendiri mendirikan Shalat, seperti dikatakan oleh Ibn Al-Farid
dalam Ta’iyya : “Kita
berdua adalah satu pemuja yang, dalam kebijaksanaan terhadap
keesaan, menyembah Zat-Nya sendiri dalam setiap rukuk. Tak ada yang
memujaku kecuali aku sendiri dan tak ada yang kusembah kecuali
diriku dalam setiap rukuk”
Penafsiran
mistik mengenai shalat ini pun belum cukup memenuhi hasrat sang sufi
kepada percakapan yang semakin akrab antara asyik dan masyuk. Masalah
bagaimana shalat itu mencapai Tuhan yang berkali-kali dipertanyakan
barangkali diungkapkan secara paling mengesankan oleh Niffari yang
mendapat karunia disapa oleh Tuhan :
“
Engkau ingin shalat semalam suntuk, dan engkau ingin membaca semua
surah Qur’an semalam itu, tetapi engkau tidak shalat. Hanya yang
menyembah Aku, dialah yang bershalat semalam suntuk, bukan demi doa
apa pun dan bukan demi bagian Qur’an manapun yang dikenal. Dialah
yang kutemui bertatap muka, dan dialah tetap dalam kepadaan Diriku,
tanpa menginginkan sesuatu untuk-Ku atau dari-Ku. Bila Aku ingin, Aku
bicara dengan dia, dan bila Aku ingin mengajarnya, Aku ajari dia.
“
Orang yang bertasbih beranjak jika mereka selesai, dan orang yang
mengaji Qur’an beranjak bila mereka telah habis membacanya; tetapi
hamba-Ku tidak beranjak, betapa mungkin mereka beranjak?
Do’a
Daim (Terus menerus)
Doa
sejati adalah terus menerus, tak dapat dibatasi dalam sejumlah rakaat
dan ayat Qur’an, melainkan ia meresap dalam segenap jiwa manusia.
Do’a dapat diartikan sebagai pembicaraan akrab, atau munajat,
antara manusia dan Allah, sebagai bertukar kata cinta yang menghibur
hati duka, meskipun tidak langsung dijawab. Ia adalah “ Bahasa
kerinduan akan kekasih”.
Menurut
suatu hadist Hasan ibn Ali, cucu Rasulullah pernah ditanya :
Mengapa
orang-orang yang paling cantik adalah yang berdoa di malam hari ?
Jawabnya
: Karena mereka sendirian saja dengan Yang Maha Mengasihi yang
menyinari mereka dengan cahaya-Nya. Dan seorang sufi lain yang
melewatkan doa malam hari dipersilahkan oleh Tuhan : “ Berdustalah
ia yang beralih cinta kepada-KU, tapi bila malam tiba tidur menjauhi
Aku”. Shalat malam hari, walaupun mungkin tidak berate di mata
umum, adalah seperti “ Pelita bercahaya” di mata Tuhan. Hanya
para sufi dari aliran pasif dank eras, baik dalam Islam maupun agama
lain- menyangsikan dasar hukum daripada do’a. mereka berpendapat
bahwa Tuhan ‘ terlalu Agung untuk didekati dengan do’a, atau di
jauhi dengan tidak berdo’a.’ Menurut mereka, Sabar dan diam dalam
penderitaan lebih sesuai daripada do’a. salah seorang pertapa utama
dari Khurasan yang menulis buku mengenai pertapaan, ( Kitabb
Az-Zuhud) Yaitu ‘Abdallah ibn Mubarak berkata : “ Sudah lima
puluh tahun lewat sejak aku berdoa atau menginginkan orang berdoa
untukku.”
Karena
semuanya sudah ditakdirkan, buat apa berdoa? Lebih baik kita tawakal
sepenuhnya dan menerima sepenuhnya apa saja yang diberikan Tuhan.
Bahkan menurut cerita, Dhun-Nun pernah mengatakan kepada orang yang
meminta di doakan : “ Andaikata ada sesuatu yang sudah ditakdirkan
Tuhan bagimu, itu berarti bahwa banyak doa yang tidak diucapkan telah
dikabulkan; bila tidak, apa guna orang yang mau terbenam
berteriak-teriak? Ia hanya akan tenggelam lebih cepat karena lebih
banyak air yang masuk ke kerongkongannya. Akan tetapi sikap pasrah
penuh ini tidak dapat dianggap sebagai khas sufi pada umumnya.
Kebanyakan mereka yakin benar bahwa doa itu perlu dan penting, sebab
Allah sendiri telah memerintahkan dalam firman-Nya : “ Berdo’alah
padaKu, Aku akan menjawabmu!”.
Imam
Al-Ghazzali dalam kitabnya IHYA ULUMUDDIN menerangkan tentang do’a
bebas (daim) dalam suatu bab yang panjang. Ia merumuskan jawaban atas
bantahan bahwa doa tidak sesuai dengan gagasan takdir; takdir
mencakup kemungkinan menolak kejahatan dengan do’a ‘ Seperti
layaknya perisai menolak anak panah, keduanya saling melawan”(G 1 :
298). Ia mengulangi suatu gagasan yang diungkapkan oleh Yahya ibn
Mua’adh tiba abad sebelumnya : “ Bila nasib menyerangku
kemalangan, aku menyambutnya dengan serangan doa.” (A 10:53) Doa
yang diucapkan oleh yahya mengumandangkan masalah dosa dan karunia
dan selalu berakhir dengan keyakinan penuh harap akan pengampunan
serta pertolongan Tuhan. Sebenarnya, perlunya Istighfar atau ‘
mohon ampun’ pada umumnya disebut sebagai taraf persiapan untuk doa
sejati. Para sufi di zaman awal suka merenungkan hubungan yang saling
bertentangan antara kelemahan manusiawi dan kekuasaan Ilahi, dan bila
Attar dalam syairnya berkata :
“ Aku
tiada, tetapi semua kejahatan berasal daripadaku. Tak ada apapun
selain Engkau, tetapi semua kebajikan berasal daripada-Mu”.
Maka
ia memberikan bentuk yang canggih begi kebingungan yang merupakan
ciri khas kehidupan doa para sufi. Kebanyakan tokoh besar tasawuf
memang mendorong murid-murid mereka untuk terus berdo’a, dan
berdoa, penuh keyakinan. Sha’rani, tokoh sufi Mesir dari abad
ke-16, dengan kata-kata menyentuh hati telah menggambarkan malam
kelam dalam jiwanya yang berlangsung selama sebulan tanpa ia sanggup
berdoa. (Abdul Wahab As-Sha’rani – Kitab Lawqih al-anwar
al-qusiyya).
Banyak
guru-guru sufi yang memberikan peraturan-peraturan mengenai apa yang
disebut doa ‘ Bebas’. Cukuplah kalau kita melihat klasifikasi doa
yang diberikan oleh Al-Ghazali dalam Ihya (G 1:274). Peraturan
untuk setiap doa amat terperinci sehingga hampir-hampir merupakan
cabang baru dalam ibadah yang diatur secara ketat, dan seakan-akan
didalamnya tidak ada gerak hati yang bebas. Saat yang tepat dan sikap
yang tepat sewaktu berdoa dianggap amat penting, demikian juga bentuk
luarnya : prosa lirik misalnya, hendaknya tidak digunakan dalam doa
bebas. Meskipun demikian para ahli tasawuf yang besar seringkali
mengubah doa-doa yang paling indah dalam prosa lirik. Penekanan
khusus diberikan kepada pengulangan formula doa dan surah-surah dari
Qur’an. Jumlah pengulangan yang paling biasa dipakai 3x, 7x, 15x,
70x, dan 1000x. angka-angka khusus ini sesuai dengan kepercayaan
mengenai angka magis yang terdapat di mana-mana, tetapi menurut paham
Islam aturan-aturan ini diturunkan dari Rasululloh dan sahabatnya.
Konsep doa ma’thur, Yaitu doa yang manjur karena pertama kali
diucapkan oleh orang yang saleh atau di ilhamkan oleh Rasululloh
melalui mimpi, sangat mempengaruhi kecenderungan ibadah umum, seperti
yang telah dinyatakan Constance Padwick dalam bukunya yang utama,
Muslim Devotions. Melalui jalan ‘doa yang disunahkan’
dalam ‘doa yang manjur’, kesalahan mistik diresapkan kedalam masa
yang luas dan lebih berkesan dalam pembentukan kesadaran keagamaan
mereka ketimbang rumus-rumusan yang digunakan dalam shalat yang
diwajibkan.
Kesalahan
hati yang dimiliki oleh orang-orang kebanyakan ini tercermin dalam
salah satu kisah Rumi yang paling indah, Yaitu kisah doa pengembala.
Dalam cerita ini Nabi Musa, yang mewakili agama yang mapan, mendapat
pelajaran bahwa kata hati yang terbata-bata dan keluhan tak berdaya
dan bahkan citraan kekanak-kanakan dalam doa pun, lebih bisa diterima
Tuhan ketimbang bentuk-bentuk yang ilmiah dan tepat – asal orang
yang berdoa itu mengucapkan katanya dengan ketulusan dan kepasrahan
sejati.
Musa
melihat seorang gembala di jalan, yang berkata : “ Ya Tuhan,
Engkau memilih (siapa yang Kau mau) : Dimana Kau? Aku ingin menjadi
hamba-Mu dan menjahit sepatu-Mu dan menyisir rambut-Mu
Aku
ingin mencuci baju-Mu dan mencari kutu-Mu dan mengantar susu pada-Mu,
wahai Yang kumulyakan. Aku ingin mencium tangan-Mu kecil dan
menggosok kaki-Mu mungil (dan bila) tiba waktu tidur, kusapu bilik-Mu
kecil.
Wahai
Engkau, jadilah semua kambingku sebagai korban bagi-Mu, wahai Engkau
yang kuseru dengan Wah dan aduh ! ”.
Nabi
Musa terperanjat mendengar kata-kata itu: “ Ocehan apa ini? Serapah
dan igauan apa ini? Bungkam mulutmu dengan kapas !”. (M 2: 1720-24,
1728). Tetapi ia terpaksa menyadari bahwa gembala yang berhati
sederhana telah mencapai taraf rohaniah yang lebih tinggi dari pada
dia sendiri, Nabi yang sombong.
Para
sufi mengetahui bahwa doa dalam arti permohonan adalah hak khusus
manusia. Walaupun semua makhluk memuji Tuhan dengan bahasa mereka
masing-masing, hanya manusialah yang dapat berbicara dengan-Nya,
mengadukan penderitaan serta harapannya kepada Tuhan yang
Mahabijaksana. Walaupun Ia telah mengatur jalannya dunia dengan
takdir-Nya, Ia ingin - seperti yang ditekankan oleh Kazaruni (T 2:30)
– memberi kehormatan kepada manusia dengan mengabulkan doanya.
Lebih lagi: Tuhan merindukan doanya.” (L 136) suatu hadist yang
diikuti oleh Qusyairi menyebutkan bahwa Tuhan menitahkan kepada
Jibril supaya jangan menjawab doa hamba-Nya yang tercinta karena Ia
senang mendengar suaranya. Ar-Rumi melukiskan pandangan yang agak
antropomorfik ini dengan suatu cerita yang mengumpamakan orang berdoa
seperti burung perkutut dan beo yang ditaruh dalam sangkar supaya
pemiliknya dapat menikmati suara mereka yang merdu. Tuhan menyukai
doa-doa ini; dan Ia langsung mengabulkannya, hanya bila Ia tidak suka
kepada orang yang berdoa seperti kita memberi sekeping roti kepada
pengemis yang tua dan buruk muka supaya ia lekas berlalu dari depan
pintu rumah kita. Ini bukan suatu gagasan teologi yang luhur, tetapi
tidak jarang disebut dalam puisi sufi. Rumi juga menceritakan tentang
bau hati terbakar yang naik ke hadirat Tuhan melalui doanya yang
membara (M 5:2259) ini mengingatkan kita kepada citraan Perjanjian
Lama tentang jantung dan hati yang dipersembahkan sebagai korban yang
dibakar.
Masalah
lain ialah sejauh mana orang dalam doanya dapat mendesak Tuhan.
Pencinta sejati boleh menggunakan bahasa yang tidak pantas untuk
ukuran manusia biasa. Aturan-aturan sopan santun boleh diperlukan
dalam hubungan antara Asyik dan Masyuk. “ Pertikaian
penganut paham (mistik/tarekat) Islam dengan Tuhan” tercermin dalam
doa mereka dan merupakan suatu bab tersendiri dalam sejarah Tassawuf.
Banyaknya cerita yang di kisahkan oleh ‘ Attar menunjukan betapa
masalah ini menimbulkan keprihatinannya. Ia melukiskan orang yang
kerasukan dan kegila-gilaan yang mengesampingkan semua aturan shalat
dan bahkan mengancam Tuhan untuk mendapatkan suatu anugerah “ Kita
harus memaksa Dia!” kata salah seorang tokoh yang ditampilkan
‘Attar (U218), ketika ia minta kepada Tuhan agar dikirim makanan
untuk tamu yang datang tiba-tiba. Makanan ini datang begitu saja, dan
tamu-tamunya terheran-heran. Doa-doa semacam itu tidak terikat oleh
peraturan apapun, dan ditemukan dalam tradisi rakyat Turki, terutama
dalam puisi Bektashi. Sering kali penyair-penyair ini mengikuti
contoh Yunus Emre dan menuduh Tuhan bahwa janji-Nya mengenai hari
Kiamat tidak masuk akal. Bahkan sekarang ini kita dapat mendengar
kata-kata serupa, kalau ada seorang “ Wali “ disebuah desa
merasa berhak untuk mengancam Tuhan dalam usahanya mencapai maksudnya
– perbuatannya seringkali cenderung ke arah magis.
Dalam
pertikaian dengan Tuhan semacam ini, dan khususnya dalam puisi doa di
seluruh dunia Islam, sering terdengar keluhan bahwa makin besar cinta
Tuhan terhadap seseorang makin besar siksaan yang ditimpakan
kepadanya. Banyak sekali Nabi dan Wali disebut dalam hubungan ini
untuk menunjukan bahwa tampaknya Tuhan itu tidak adil, dan bahwa
semua penderitaan itu diterima dengan segala kerelaan bila Ia sendiri
yang menimpakannya kepada sang sufi yang berdoa.
Pada
umumnya para sufi moderat sepaham bahwa kalau tidak setiap doa
dikabulkan oleh Tuhan, hal itu semua besar manfaatnya bagi si pemohon
seperti bila ia dikabulkan permohonannya. Syekh Abdul Qadir Jaelani
merasa bahwa keengganan Tuhan semacam itu membuat manusia selalu
harap-harap cemas, dan itu merupakan keadaan ideal bagi seorang
pelaku spiritual, tetapi ia menambahkan bahwa setiap doa yang tidak
terkabul paling tidak akan dicatat di Lauhful Makhfudz untuk
kebaikan si pemohon. “ Banyak doa yang bila dikabulkan akan
menyebabkan kehancuran, sehingga kebijaksanaan ilahi tidak
mengijinkannya.” (M 2: 140). Begitu kata Rumi dalam kitab Mathnawi.
Di situ ia sering kali membicarakan doa-doa yang tidak terkabul
karena rahmat Tuhan, sebab Ia tahu bahwa akibatnya akan merusak.
Nilai doa yang sebenarnya ialah bahwa dari tindakan itu kita mendapat
hiburan, dan dengan ini kemauan manusia dapat menyesuaikan diri
dengan kehendak ilahi. Gagasan-gagasan ini amat penting bagi seluruh
kehidupan keagamaan. Muhammad Iqbal sering menyebut keajaiban do’a
yang sungguh-sungguh, yang akhirnya membuat manusia pasrah sempurna
kepada kehendak Tuhan; kesitulah semua harapan dan kecemasan manusia
beralih.
“Ia mengubah biji do’a yang kering menjadi pohon kurma yang
indah. Seperti Maria yang penderitaannya waktu melahirkan dihadiahi
hujan kurma. (M 5:118).
Kata
Rumi dengan menggunakan citraan dari Qur’an (Surah 10 : 25). Para
ahli sepiritual ekstrim seperti Malamatiyya rupanya kecewa dan
kurang senang bila doa mereka terkabul, karena mereka takut
jangan-jangan anugerah semacam itu hanya tipu daya, suatu usaha dari
Tuhan untuk memperdayakan mereka. Suatu do’a yang selalu dikabulkan
ialah do’a untuk orang lain. Selawat dan doa untuk Rasululloh
merupakan bagian daripada persyaratan ritual dan dianggap sebagai doa
yang harus diulang beberapa kali pada setiap peristiwa. Sang sufi
harus mendoakan orang tua, orang yang dicintai, dan mereka yang
dengan sadar atau tidak, telah membantu dia dalam perjalanannya
menuju kesempurnaan. Bahkan penyamun pun mungkin menyebabkan ia
bertobat harus disertakan juga dalam doanya. ( M 4:81-99) maka banyak
syair epik dan prosa Parsi, Turki, dan Urdhu diakhiri dengan
permohonan agar pembaca memanjatkan doa bagi pengarang dan
penyalinnya. Dan kita ingat pada kata orang ahli sepiritual yang
merindukan kesendirian dengan Tuhan tetapi selalu diminta mengajarkan
langkah-langkah menuju kesempurnaan, sebagai berikut, “ Ya Allah,
bila ada yang membelokan aku daripada-Mu, belokanlah dia dari padaku
kepada-Mu!”. (N 54) Doa ini mencakup dua tujuan yang mulia.
Semua
orang tahu bahwa seorang sufi seharusnya tidak memohon kekayaan dunia
kepada Tuhan melainkan hanya kekayaan jiwa. Bagi ahli spiritual yang
sudah lanjut tingkatannya, hanya Tuhan tujuan segenap doanya.
Meskipun demikian, kita mendengar dan membaca banyak legenda mengenai
para sufi utama yang Mustajab ad-du’a, Yaitu doanya
dikabulkan sehingga “ jika ia minta sesuatu, pasti Tuhan akan
memberinya.” Dalam keadaan sakit dan bahaya, di waktu kelaparan dan
kekurangan, mereka mengucapkan doa yang efektif bagi dirinya atau
orang sedaerahnya; dan mereka mampu menghukum orang yang menentang
mereka. Kisah-kisah mengenai kekuatan magis yang dimiliki oleh doa
seorang wali kadang-kadang mendekati dunia dongeng dan sihir. Ada
seorang Syekh yang begitu mustajab doanya sehingga ia dapat
mengembalikan malaikat yang dibuang kepada tempatnya dalam hirarki
sorga. (N 379)
Sufi-sufi
tertentu menggunakan doa-doa yang dalam kenyataan sangat mendekati
pengucapan mantera magis – terutama dalam kurun waktu mutakhir.
Sang guru mempermainkan huruf-huruf abjad Arab: ia menyusun doa
dengan menggunakan semua kata turunan yang mungkin dibuat dari satu
akar kata Arab, misalnya akar yang mendasari satu Asma Allah
tertentu. Atau ia menyusun doa menurut abjad dan mengisinya dengan
kata dengan aksara tertentu yang dianggap berkesan dan mengandung
tenaga dalam. Asma Allah dengan makna praktisnya digunakan oleh orang
yang mendoa sesuai dengan keinginan serta kebutuhannya. Asma itu
diulang-ulang untuk menambah kekuatannya dan jumlah pengulangannya
tergantung pada nilai angka asma tertentu itu. Ar-Rahman
mempunyai nilai angka 298 dan harus diulang sebanyak itu. Penyakit
dapat disembuhkan dengan menyebut asma Allah yang sesuai, dan untuk
meningkatkan kekuatan doa, ditambahkan pula kata bukan Arab yang
bunyinya aneh, dan nama-nama makhluk halus yang rumit.
Akan
tetapi doa mistik sejati adalah doa yang mencerminkan kepercayaan
kepada Tuhan, cinta serta kerinduan. Tidak memohon sorga atau
mengharapkan selamat dari neraka – itu cita-cita tentang cinta
tanpa pamrih yang seharusnya mendasari setiap pikiran seorang sufi.
Satu-satunya sebab yang mungkin menjadi alasan mengapa seorang sufi
menginginkan sorga ialah harapan bahwa di situ ia akan bisa memandang
wajah Allah, tetapi itu pun tidak dapat diterima oleh para sufi di
zaman kemudian. Bayajid Al-Bustomi menggambarkan kemutlakan usaha
spiritual ini – Tuhan berkata : “ Semua orang meminta sesuatu
daripada-Ku, hanya Bayajid menginginkan diri-Ku sendiri” (T
1:152). Seorang sufi sejati dalam berdoa : “ Tangan doa seorang
arif membuka-buka halaman buku ketidaksengajaan, seperti daun pohon
pisang yang tidak ingin meraih gaun sang mawar harapan. Daun itu
harus menuruti arah angina nasib, ia bergerak sesuai dengan
geraknya.” Intisari doa mistik ialah tidak meminta dan tidak
menuntut : intisarinya ialah puji dan puja sepanjang waktu. Daqqaq,
Yaitu guru Al-Qusyairi menggolongkan doa menjadi 3 (tiga) golongan,
ada tiga taraf :
- Meminta
- Mendoa
- Memuji
- Meminta adalah bagi orang yang menginginkan akhirat.
- Memuji adalah bagi mereka yang merindukan Tuhan. Hal ini sesuai dengan sebutan Qusyairi mengenai taraf-taraf kesyukuran, yang mencapai puncaknya dalam “ bersyukur karena bersyukur”. Sabda Rasululloh : “ Aku tak dapat menghitung karunia-Mu dan puji syukur abadi yang harus kupanjatkan pada-Mu,” merupakan sari daripada kesalehan sang spiritual.
Walaupun
seorang sufi merasa bahwa dengan pemujaannya yang terus menerus ia
dalam keserasian dengan segala makhluk, bak pujiannya maupun
pujaannya belum memadai untuk mengungkapkan kesyukuran dan kebaktian
yang seharusnya ia sampaikan kepada Penciptanya
Cara
yang sempurna untuk menafsirkan doa spiritual sejati diperlihatkan
oleh Ar-Rumi. Ia ditanya : “ Adakah jalan yang lebih dekat kepada
Tuhan ketimbang doa dalam shalat? ” Dalam karyanya Fihi ma fihi,
ia menjawab:
Tidak,
tetapi doa tidak hanya terdiri atas peraturan……….. Doa adalah
ketenggelaman dan ketidaksadaran jiwa, sehingga semua peraturan
tinggal di permukaan. Saat itu tak ada tempat untuk Jibril pun, yang
merupakan roh murni. Yang berdoa seperti ini bebas dari semua
kewajiban keagamaan, karena ia kehilangan kesadarannya. Tenggelam
dalam kekuatan ilahi adalah jiwa doa”.
Akan
tetapi Rumi tahu benar bahwa tak mungkin kesatuan spiritual ini
dicapai dengan perenungan, dan waktu bersusah payah, manusia tidak
dapat mengucapkan sepatah kata pun doa sejati; semuanya itu rahmat
Tuhan. Segenap pikiran manusia dan kerinduan manusia untuk mencapai
Tuhan adalah karya Tuhan, tidak lain. Gagasan bahwa doa itu karunia
Tuhan dapat dipahami dengan 3 (tiga) cara yang berbeda, sesuai dengan
konsep Tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi:
- Tuhan sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa;
- Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong dia supaya menjawab; atau
- Tuhan Sang Wujud Tunggal adalah tujuan doa dan kenangan dan juga subjek yang mendoa dan mengenang.
Allah
pertama-tama menyapa umat manusia dengan sapaan cinta yang terungkap
pada Hari Perjanjian :
WA IDZA KHADZA ROBBUKA MIN BANI ADAMA MIN THUHUURIHIM DZURIYYATAHUM
WA ASYHADAHUM A’LA ANFUSIHIM ﺝ
ALASTU
BIROBBIKUM ﻃ
QOLUU
BALA ﺝ
SYAHIDNA
ﺝ
ANTAQUULU
YAUMAL QIYAMATI INNAKUNNAA AN HAADZA GHOFILIN
Artinya: Dan
ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan (menciptakan) keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil (sumpah) atas
kesaksian dari diri mereka sendiri dengan firman-Nya “ Bukankah
Aku Tuhanmu?, mereka menjawab, “ Ya, Kami mengakui (bersaksi).”
Nanti di hari kiamat kamu tidak dapat lagi mengatakan “
Sesungguhnya kami lengah (lupa) terhadap hal ini (Keesaan Allah)
Q.S. Al-Araf : 172
“Bukankah Aku Tuhanmu? “ – supaya manusia memuji dan menyembah Dia
sebagai satu-satunya objek pemujaan. Sesuai dengan Firman Allah
didalam Al-qur’an : WAMA KHOLATUL JINNA WAL INSAA ILA LIYABUDUN
(Dan tidak aku ciptakan Jin dan manusia selain untuk menyembah-Ku)
kata LIYABUDUN ditafsirkan oleh Abubakar dalam suatu
hadist dengan LILMA’RIFATIHI dimana lebih lengkapanya
WAMA KHOLAQOL INSANA ILA LIL-MA’RIFATIHI (Dan tidak aku
ciptakan manusia selain untuk Ma’rifat (mengenal) kepada-Ku).
Abu
Ishak al-Kazaruni benar waktu ia menyatakan dalam doanya :”Ya
Tuhan, rahmat-Mu kepada kami tidak ada habisnya, dan karena
rahmat-Mu, Engkau memberi kepada kami karunia untuk menyebut-Mu
dengan lidah dan bersyukur kepadamu dengan hati.”
Keakraban
para sufi dengan gagasan ini berpangkal pada suatu hadist mengenai
do’a Nabi Musa : “ Ya Tuhan, Engkau memerintahkan agar aku
bersyukur atas rahmat-Mu, dan kesyukuranku sendiri adalah rahmat
dari-Mu.’ Ini benar-benar do’a khas sufi. Berabad-abad kemudian
Ibn Ata Allah berdoa dengan cara yang serupa : “ Ya Tuhan, bila
kami tidak Kauberi iman, kami tidak beriman, dan bila lidah kami
tidak kau fasihkan untuk berdoa, kami tidak berdoa. Sebab semua
tindak tergantung pada Tuhan, diperintahkan oleh-Nya dan berlaku
sebagai pelaksana kehendak-Nya yang abadi dan azali. Ibn Qayyim
al-Jauziyya yang dikenal sebagai orang ortodoks mengatakan dalam
kitabnya yang kecil berjudul Kitab Asrar as-salat : “ Dan Ia
adalah Yang Maha Tinggi, yang memuji diri-Nya dengan lidah sang
pemuji; sebab Dialah yang meletakan pujian di atas lidahnya dan di
dalam hatinya, dan menggerakkannya dengan puji-Nya. Dan adalah
kewajiban manusia untuk mengakui bahwa puji yang dipanjatkannya
adalah karunia Tuhan kepadanya, dan bila ia memuji Dia karena karunia
itu, pujiannya harus diikuti dengan puji lagi.” Perasaan bahwa
memang doa itu di ilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan diantara
generasi-generasi sufi yang pertama. Abu Bakar al-Kattani berkata
kepada muridnya : “ Ia tak pernah menggerakan lidah manusia dalam
doa atau membuat mereka sibuk memohon ampun atas doa mereka, tanpa
membuka pintu pengampunan.” Dan Niffari, ahli teologi doa terbesar
dalam abad ke-10 diberi tahu oleh Tuhan “ Memberi adalah kuasa-Ku;
andaikata aku tidak menjawab doamu, aku tidak akan membuat agar
engkau meminta. Tuhan yang bermukim di antara kulit luar jantung dan
jantung, bercakap dengan sahabatNya dalam bahasa rahasia dan mereka
menjawab dalam kediaman, demikian kata Al-Hallaj.
DZIKIR
Salat
dan doa bebas merupakan segi kehidupan kejiwaan Islam yang di alami
baik oleh para pelaku mistik maupun para awam. Tetapi ibadah yang
membedakan para sufi ialah dzikir, Yaitu mengingat atau mengenang
Tuhan yang dapat dilakukan diam-diam atau bersuara. Kedua cara itu
didukung oleh Firman Tuhan:
“Kamu
mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya
dan carilah jalan tengah di antara kedua itu (Q.S. (17) : 110).
Praktek dzikir para sufi didasari oleh perintah Allah : “ Dzikir
yang sebanyak-banyaknya” (Q.S. (33) : 41) sebab seperti kata firman
lain : “ Hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.”
(Q.S. (13) : 28)
“Dzikir merupakan tiang yang kuat di jalan menuju Allah, bahkan ia
adalah tiang yang paling penting,” sebab orang tak dapat mencapai
Dia tanpa mengingat-Nya terus menerus. Sesungguhnya hidup tanpa
ingatan (Yad) kepada-Nya adalah angina (Bad).” Dalam peristilahan
modern dapat dikatakan bahwa pengingatan yang terpusat membebaskan
tenaga rohani yang membantu langkah-langkah menuju kesempurnaan.
Dzikir
boleh dilakukan dimana saja, pada saat apa saja, tanpa dibatasi pada
waktu-waktu shalat atau pada tempat suci yang bersih. Tuhan dapat
dikenang dimana saja di dunia yang merupakan milik-Nya. Apabila sang
murid menjumpai kesulitan dalam Tarekat, “ dzikir merupakan pedang
untuk menakuti musuhnya dan Tuhan akan melindungi siapa pun yang
ingat akan Dia pada saat dalam kesusahan dan bahaya.”
Secara
umum para sufi sepaham bahwa hati orang beriman harus di harumi
dengan ingatan kepada Allah. “ Dzikir adalah makanan spiritual
ahli sufi. Seorang Sahl at-Tustari merasa lapar, dan setelah
berhari-hari berpuasa ia bertanya : “ Guruku, apa makanannya? Dan
Sahl menjawab: Ingat akan Tuhan Yang Abadi! Hati dapat di umpamakan
Nabi Isa, yang dibesarkan dengan air susu Mariam, yang dapat di
misalkan sebagai dzikir. Dzikir membawa kepada keadaan kejiwaan yang
sempurna, dan “barang siapa senantiasa ingat kepada Tuhan ia adalah
pendamping ( Jalis ) Tuhan yang sejati”, sebab Tuhan telah
berjanji dalam suatu hadist qudsi : “ ANA JALISU MAN DZAKARANI
“, artinya : Aku adalah pendamping siapa pun yang ingat akan
Daku. Dzikir adalah langkah pertama di jalan cinta; sebab kalau kita
mencintai seseorang, kita suka menyebut namanya dan selalu ingat
kepadanya. Oleh sebab itu, siapa pun yang dalam hatinya telah
tertanam cinta akan Tuhan, di situlah tempat kediaman dzikir yang
terus menerus.
Menurut
para ahli sufi Rasululloh sendiri memuji dzikir :
Siapa
yang ingat akan Tuhan di tengah-tengah kaum yang lupa, ia seumpama
prajurit di tengah-tengah tentara yang melarikan diri, seperti pokok
hijau di antara pohonan kering.
Para
penyair Turki (yang meniru Rumi dan Yunus Emre) dan India sering
memisalkan “ Hati sebagai pohon yang hidup dan bergerak karena
tiupan angin cinta, dan mendapat makan dari air dzikir; hati bagaikan
melati yang mendapat air dari La dan illa
(dua bagian syahadat yang sering disebut dalam dzikir)
Penjabaran Tassawuf
Description : TASSAWUF Tassawuf didasarkan pada 8 (delapan) sifat yang dicontohkan oleh Para Rasul : Kedermawanan Nabi Ibrahim , yang mengorbanka...
Penulis : Dedi E Kusmayadi di November 07, 2015
Rating : 5 Dari :5 terbaik
Title :
Description : TASSAWUF Tassawuf didasarkan pada 8 (delapan) sifat yang dicontohkan oleh Para Rasul : Kedermawanan Nabi Ibrahim , yang mengorbanka...
Penulis : Dedi E Kusmayadi di November 07, 2015
Rating : 5 Dari :5 terbaik